Rabu, 27 Januari 2010

PERMOHONAN TENTANG GUGATAN

PERMOHONAN
(Jurisdictio Voluntaria) Tuntutan hak yang tidak mengandung sengketa diajukan kepengadilan untuk mendapat PENETAPAN. Penjelasan terdapat pada pasal 2 (1) UU No. 14/1970, mekanisme pengajuan permohonan dapat dilakukan Tertulis atau Lisan

TENTANG GUGATAN
Sebelum lebih jauh bicara pada pembuatan gugatan, terlebih dahulu harus dipahami tentang pengertian gugatan. Berikut ini adalah panduan tentang gugatan. Gugatan sendiri merupakan hak setiap orang untuk menuntut di muka Pengadilan atas pelanggaran terhadap hak keperdataannya.

PIHAK PIHAK DALAM GUGATAN
pada gugatan biasa, terdapat beberapa pihak seperti yang dijelaskan berikut ini.
1. Penggugat/Eiser/Plaintif adalah orang yang merasa haknya dilanggar/yang mengajukan tuntutan hak yang mengandung sengketa.
2. Tergugat/Gedaage/Defendat adalah yang yang dirasa melanggar hak orang lain/ orang yang terhadapnya diajukan tuntutan hak yang mengandung sengketa.
3. Turut Tergugat adalah orang yang tidak menguasai barang/sengketa/tidak berkewajiban untuk melakukan sesuatu, namun demi lengkapnya gugatan harus di ikutsertakan untuk tunduk patuh, dan taat terhadap Putusan.

BENTUK GUGATAN,
118 dan 120 HIR dapat diajukan secara tertulis/Lisan sedangkan sedangkan bagi yang tidak dapat baca tulis, dilakukan dengan cara, ybs menghadap ketua pengadilan dengan maksud mengajukan gugatan. Kemudian Ketua pengadilan (KPN) mencatatkan maksud tersebut dan di bubuhi cap jempol. 237 HIR bagi yang tidak mampu dapat mengajukan perkara PRODEO (Bebas Biaya).
SYARAT FORMIL GUGATAN
Pasal 8 ayat (3) Rv :
Identitas Para Pihak (Nama, Alamat, Pekerjaan, Kewarganegaraan)
POSITA / Fundamentum Petendi : Dasar gugatan yang memuat uraian peristiwa/kejadian (feitellijke gronden) memuat alasan berdasarkan keadaan dan uraian tentang alasan hukum (rechts groden)
PETITUM : Hal hal yang diminta penggugat agar diputuskan, ditetapkan atau diperintahkan hakim. PETITUM harus jelas dan lengkap hakim wajib mengadili semua dan dilarang memutuskan lebih dari yag diminta dalam petitum (178 HIR).
PENCABUTAN GUGATAN :
Gugatan dapat di cabut sebelum tergugat menjawab tetapi jika sudah menjawab harus mendapat persetujuan tergugat, hal ini tidak diatur dalam HIR/Rbg tetapi ada dalam praktek dan pasal 271, 272 Rv.

PERUBAHAN GUGATAN
Dapat diajukan sebelum tergugat memberikan jawaban dan dapat dilakukan apabila tidak mengubah dasar gugatan, tidak mengubah petitum, pokok perkara yang menjadi dasar gugatan. Perubahan setelah jawaban dapat dikabulkan apabila tergugat menyetujui.
Perubahan gugatan dilarang apabila berdasarkan atas keadaan/peristiwa hukum yang sama dituntut yang lainatau penggugat mendalilkan keadaan fakta hukum yang baru dalam gugatan yang dirubah.
PENGAJUAN GUGATAN
118 HIR Gugatan harus di ajukan di Pengadilan dimana Tergugat bertempat tinggal (ACTOR SEQUITOR FORUM REI) dengan kekecualian :
• Diajukan ke pengadilan negeri tempat tinggal tergugat, jika tempat tinggalnya tidak di ketahui.
• Apabila tergugat lebih dari satu gugatan dapat diajukan di Pengadilan Negeri salah satu dari para tergugat.
• Apabila tergugat berhutang memiliki penjamin gugatan, diajukan ke pengadilan negeri tempat tinggal yang berhutang.
• Apabila tempat tinggal dan tempat kediaman tergugat tidak di ketahui maka gugatan di ajukan di Pengadilan Negeri tempat tinggal tergugat.
• Dalam hal angka 4 diatas, mengenai barang tetap maka gugatan “HIR = DAPAT, Rbg = HARUS” diajukan di pengadilan Negeri dimana barang itu terletak.
• Apabila tempat tinggal dipilih dengan akta maka gugatan dapat diajukan di Pengadilan Negeri dimana tempat tinggal yang di pilih tersebut.
Cat : beberapa peraturan perundang undangan mengatur pengecualian ini seperti dalam undang undang perkawinan.
GUGATAN DLM REKONPENSI
Disebut Juga gugatan balik, guguatan balasan, atau gugat ginugat. Pasal 132a HIr gugatan dalam Rekonpensi dapat diajukan dalam setiap perkara, kecuali :
Penggugat dalam gugatan asal menuntut mengenai sifat, sedangkan gugatan rekonpensi mengenai dirinya sendiri atau sebaliknya,
Pengadilan Negeri tidak berwenang memeriksa tuntutan balik itu berhubung dengan pokok perselisihan (kompetensi absolute).
Dalam perkara tentang menjalankan putusan hakim.
Jika dalam pemeriksaan di Pengadilan Negeri tidak diajukan gugatan dalam rekonpensi maka dalam pemeriksaan banding tidak dapat diajukan gugatan rekonpensi.
Pasal 132b gugtan rekonpensi harus diajukan bersama sama dengan jawaban pertama. Gugatan dalam konpensi dan rekonpensi diperiksa dan di putus dalam satu putusan kecuali apabila ada alasan hukum dari gugatan dapat diputus terlebih dahulu.
GUGATAN REKONPENSI diajukan dengan tujuan :
Mengehemat Ongkos Perkara.
Mempermudah Pemeriksaa.
Mempercepat Penyelesaian.
Menghindarkan Putusan saling bertentangan satu sama lainnya.

PERKEMBANGAN HUKUM DI NEGARA BERKEMBANG PERAN BUDAYA HUKUM

Makalah ini merupakan pemaparan peran budaya hukum dalam proses pembangunan hukum, terutama di negara berkembang. Tujuannya adalah untuk menggarisbawahi pentingnya budaya hukum dalam masyarakat yang mengingikan terjadinya reformasi hukum. Meskipun makalah ini baru sebatas sebuah konsep, Saya memberikan uraian yang disertai dengan beberapa contoh reformasi hukum di Indonesia sekitar tahun 1990-an.
Saya mengawali Bagian A dengan membahas hukum dan gerakan pembangunan semenjak tahun 1960-an sampai dengan 1970-an dengan fokus kajian pada cangkok hukum. Pada bagian B, Saya menggunakan pendekatan holistik untuk memecahkan masalah yang berkaitan dengan sebab-sebab terjadinya perubahan hukum. Saya membahas konsep Budaya Hukum-nya Lawrence M. Friedman dan taksonomi sistem hukum karya Ugo Mattei. Pada bagian C, dengan menggunakan pendekatan dari kedua sarjana tersebut, Saya memperkenalkan konsep ‘kebiasaan hukum’ dan ‘kesadaran hukum’. Saya selanjutnya membuat sebuah model ysng sederhana dan dapat digunakan untuk menganalisa budaya hukum dan pembangunan hukum dalam konteks dinamis. Saya juga mengajukan beberapa kesimpulan yang berkaitan dengan implikasi yang ditimbulkan oleh model ini.
Bagian A: Hukum dan Pembangunan
Hukum dan gerakan pembangunan pada tahun 1960-an sampai dengan 1970-an berkaitan dengan hubungan antara hukum dan pembangunan, terutama negara-negara berkembang. Gerakan ini dimaksudkan untuk mengkaji peran hukum dalam konteks pembangunan sosial, ekonomi dan politik. Salah satu kunci dari gerakan ini terletak pada dapat tidaknya hukum modern negara maju diimpor dan digunakan negara berkembang untuk mempercepat pembangunan. Ada beberapa pendekatan terhadap permasalahan ini.
Kaum ortodoks dan mayoritas melihat bahwa reformasi di bidang hukum , terutama pengenalan ide dan lembaga hukum modern negara barat kepada negara berkembang, memegang peran penting dalam pembangunan ekonomi dan politik. Dua sarjana bidang hukum dan pembangunan menyebut pendekatan ini sebagai ‘hukum liberal’. Inti dari pendekatan ini adalah masyarakat terdiri atas individu, kelompok dan negara; negara memegang kontrol hukum untuk mencapai tujuan masyarakat; negara menerapkan hukum yang sama kepada semua orang secara bebas dan rasional; dan perilaku sosial cenderung mengikuti hukum tersebut.
Pendekatan ini percaya bahwa pembangunan hukum merupakan prasyarat pembangunan ekonomi dan hukum modern negara maju dapat diterapkan di negara berkembang sebagai cangkok hukum untuk memenuhi persyaratan tersebut. Sebenarnya, kajian Watson terhadap cangkok hukum menunjukkan bahwa peminjaman telah menjadi fenomena umum dalam sejarah dan merupakan sumber paling subur dalam pembangunan hukum.
Kaum minoritas melihat hukum terikat dengan budaya dan tidak dapat dipindahkan atau dipinjam dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya seperti halnya meminjam kunci Inggris untuk menutup lekuk yang bocor. Pandangan ini berasal dari Montesquieu dan sarjana asal Jerman, Friedrich Carl von Savigny. Sagviny percaya bahwa negara mempunyai kesatuan oganik dari individu dan bahwa hukum negara berkembang melalui pembentukan norma-norma sosial dalam suatu masyarakat secara periodik. Di sini tidak akan dibicarakan pengraruh aliran yurisprudensi Savigny pada para sarjana Belanda pada awal abad 20 (seperti Cornelius dan Vollenhoven) dan pemimpin nasional Indonesia , seperti Soepomo,. Mengikuti garis pemikiran ini, Robert Seidman yang dikenal melalui ‘ Hukum dari Hukum yang tidak dapat dipindahkan’ (The Law of Non-Transferability of Law) mengatakan bahwa perpindahan hukum dari satu budaya ke budaya lain tidak mungkin dilakukan karena hukum tidak dapat berlaku sama sebagaimana hukum itu digunakan di tempat asal.
Pandangan yang menyatakan bahwa cangkok hukum mempunyai peran positif dalam pembangunan ekonomi dipertegas oleh gencarnya program modernisasi bidang hukum di beberapa negara Amerika Latin dan Afrika juga sebagian kecil negara berkembang di Asia pada tahun 1960-an dan 1970-an. Proses ini dijuluki ‘difusi hukum’ (legal difusionism).
Namun demikian, momen keraguan terhadap kemanjuran program modernisasi hukum ini mulai muncul. Patrick Mc Auslan, 1997, menulis bahwa hukum dan gerakan pembangunan tahun 1960-an sangat percaya jika hukum mempunyai peran yang sangat vital dalam pembangunan. Dalam pandangannya, gerakan tersebut kehilangan momen karena penekanan dari gerakan tersebut terletak pada bidang hukum struktural dan substantif dan gagal menentukan sifat hubungan sebab akibat antara hukum dan pembangunan secara lebih umum.
Pada tahun 1990-an, hukum dan pembangunan kembali menjadi tpoik yang hangat. Hal ini tidak mengejutkan sebab pada tahun ini ada dukungan pembaharuan dari negara maju terhadap ferormasi hukum pada negara berkembang. Dukungan ini dilakukan melalui agen-agen multilateral seperti Bank Pembangunan Asia (ADB) dan juga lembaga bantuan individu seperti USAID. Tak di sangkal bahwa minat pembaharuan bidang hukum merupakan atribut, meskipun sebagian, terhadap realisasi bahwa pemerintahan yang baik- yang pada gilirannya nanti mensyaratkan kerangka kerja hukum yang memuaskan- merupakan inti dari pembangunan ekonomi yang kokoh. Bank Dunia, khususnya, mengetahui secara eksplisit pentingnya reformasi hukum dalam konteks ini:
Kerangka hukum dalam sebuah negara merupakan unsur penting dalam pembangunan ekonomi, politik dan sosial. Menciptakan kemakmuran melalui komitmen kumulatif manusia, sumber daya teknologi dan modal sangat bergantung pada hukum yang dapat mengamankan hak milik, masyarakat sipil yang teratur, dan perilaku komersial, dan membatasi kekuasaan negara.
Lebih dari itu, ketika masalah hukum dan pembangunan kembali mendapatkan perhatian, Saya melihat sisi positif lain. Menurut pendapat Saya mereka yang terlibat dalam perdebatan ini lebih menyadari keterbatasan reformasi hukum struktural dan substantif, terutama dalam cangkok hukum. Justru, ada kesadaran yang semakin bertambah jika keyakinan dan norma sosial untuk menerima masyarakat dan keinginan dan kapasitas mereka untuk menjelajah, memahami dan mematuhi hukum baru merupakan faktor penting yang menentukan keberhasilan cangkok hukum tersebut.
Pendekatan lain juga menyebutkan bahwa reformasi hukum, melalui penggunaan cangkok hukum, bukanlah inti dalam pembangunan ekonomi bahkan tidak relevan. Perannya terletak di tengah-tengah dengan memainkan peran pemberdayaan yang sederhana tetapi penting dalam proses perubahan sosial. jika benar, Saya berpendapat tugas mendesak untuk memunculkan kembali perdebatan antara hukum dan pembangunan adalah dengan menemukan hubungan antara pembangunan hukum dan masalah ekonomi, sosial dan politik secara luas. Dengan kata lain, tugas mendesak saat ini sama seperti yang dikatakan empat dekade lalu:
Yang dibutuhkan adalah suatu kajian terhadap metode di mana hukum yang didukung oleh otoritas negara dapat mempengaruhi perilaku dan faktor sosial, politik, psikologis dan faktor lain yang jauh dari sistem hukum normatif membatasi kemampuan hukum untuk mengubah perilaku.
Tujuan di atas disampaikan karena akan memperjelas pengaruh faktor eksternal terhadap sistem hukum dan membatasi kemanjuran hukum jika hukum tersebut dapat mengubah perilaku. Keuntungan dari pendekatan ini adalah bahwa sebagian dari pikiran dasar liberalisme liberal ortodoks- misalnya, hukum merupakan alat yang efektif untuk mengubah masyarakat- tetap ada meskipun bukan merupakn yang dikritisi. Kita dapat terus menyakini kemanjuran bidang reformasi hukum dalam proses pembangunan dengan sedikit mengabaikan dampak daya ekonomi, sosial dan politik terhadap sistem hukum. Jadi, reformasi hukum dapat dianggap sebagai sebab dan dampak dari perubahan sosial yang luas. Dengan demikian, kita dapat mengembangkan model yang lebih menyeluruh dan memahami potensi dan keterbatasan hukum dalam pembangunan ekonomi secara lebih realistis.
Bagian B: Pendekatan Holistik pada Sistem Hukum
Dari pembahasan awal, kita mengetahui bahwa pendekatan holistik terhadap pembangunan dan hukum sangat penting. Kunci dari pendekatan ini adalah apresiasi yang sepenuhnya terhadap unsur sistem hukum lain, sifat dan keluasan faktor eksternal yang mempengaruhinya. Dengan memahami unsur sebuah sistem hukum, kita mengetahui bagaimana sebuah sistem bekerja pada satu titik waktu. Dengan memahami faktor eksternal, kita dapat mengetahui petunjuk-petunjuk bagaimana faktor-faktor tersebut dapat membuat sistem mengalami perubahan. Memahami unsur sebuah sistem hukum merupakan analisis statis sedangkan memahami faktor eksternal merupakan analisis dinamis. Keduanya dapat digunakan jika model teorinya dibuat dengan tujuan menganalisa sistem hukum karena model ini akan senantiasa berkembang.
Sampai di sini, Saya membahas dua konsep analitik yang dapat menjelaskan perilaku sistem hukum statis dan dinamis. Konsep pertama adalah konsep ‘budaya hukum’ karya Lawrence M. Friedman dan konsep Ugo Mattei ‘taksonomi sistem hukum’ yang disebutnya ‘ pola hukum’ (Patterns of Law)
1. Budaya Hukum
Freidman, seorang sosiolog hukum dari Universitas Stanfords, menyatakan bahwa sistem hukum terdiri atas tiga komponen, struktur hukum, hukum substantif, dan budaya hukum. Struktur mengacu pada lembaga dan proses dalam sistem hukum; struktur hukum merupakan badan, kerangka kerja, dan sistem yang tahan lama. Sistem ini meliputi sistem pengadilan, legislatif, perbankan, dan sistem koporat. Hokum substansi mengacu pada hukum – peratutan prosedur dan substansi- dan norma yang digunakan dalam sebuah lembaga dan mengikat hokum struktur secara bersama. para pengacara dan sarjana hukum cenderung membatasi analisis mereka terhadap struktur dan substansi sistem hukum yang sedang mereka pelajari. Friedman membrikan tanggapan terhadap kecenderungan ini:
Struktur dan substansi merupakan komponen inti dari sebuah sistem hukum, tetapi baru sebatas desain atau cetakbiru dan bukan mesin kerja. Struktur dan substansi menjadi masalah karena keduanya statis; keduanya ibaratnya gambar dari sistem hukum. Potret tersebut tidak memiliki gerak dan kebenaran… dan seperti ruang pengadilan yang dipercantik , membeku, kaku, sakit berkepanjangan.
Menurut Friedman, unsur yang hilang yang memberikan kehidupan dalam sistem hukum adalah ‘budaya hukum’. Budaya hukum mengacu pada sikap, nilai, dan opini dalam masyarakat dengan penekanan pada hukum, sistem hukum serta beberapa bagian hukum. Budaya hukum merupakan bagian dari budaya umum- kebiasaan, opini, cara bekerja dan berpikir- yang mengikat masyarakat untuk mendekat atau menjauh dari hukum dengan cara khusus. Dari ketiga komponen di atas, budaya hukum merupakan komponen yang paling penting:
Budaya hukum menentukan kapan, mengapa dan di mana orang menggunakan hukum, lembaga hukum atau proses hukum atau kapan mereka menggunakan lembaga lain atau tanpa melakukan upaya hukum. Dengan kata lain, faktor budaya merupakan ramuan penting untuk mengubah struktur statis dan koleksi norma ststis menjadi badan hukum yang hidup. Menambahkan budya hukum ke dalam gambar ibarat memutar jam atau menyalakan mesin. Budaya hukum membuat segalanya bergerak.
Namun demikian, konsep Friedman bukannya tanpa kritik. Roger Cotterrell, seorang sarjana Inggris, mengatakan bahwa konsep Friedman ‘tidak mempunyai kekerasan’ dan ‘secara teoritis tidak padu’. Friedman menanggapi kritik tersebut dengan menjelaskan bahwa tidak adanya presisi dalam istilah ‘budaya hukum’ tidak membuat konsep itu tidak padu. Sebenarnya, konsep ini juga mempunyai kesamaan dalam hal kekurangan presisi sama halnya dengan ‘hukum struktur’, ‘sistem hukum’, dan ‘opini publik’. Menurut Friedman, arti pentinya ‘budaya hukum’ adalah bahwa konsep ini merupakan variabel penting dalam proses menghasilkan hukum statis dan perubahan hukum. Dalam pemahaman Saya, Cotterrell menggarisbawahi kesulitan dalam menggunakan konsep budaya hukum. Dia salah dalam menarik kesimpulan bahwa konsep tidak padu karena tidak adanya hal yang khusus. Alasannya adalah bahwa konsep sekompleks ‘budaya hukum’ cenderung sulit dipahami. Hal ini membuktikan kemampuan konsep budaya hokum menembus masyarakat dan bukan tanda-tanda kelemehan. Di sisi lain, Cotterrell sendiri mengakui bahwa konsep Friedman ‘merupakan usaha yang paling dapat menjelaskan konsep budaya hukum dalam sosiologi hukum komparatif dan mempertahankan dan mengembangkan secara teoritis penggunaan konsep tersebut’.
Friedman selanjutnya menjelaskan sikap dan nilai dalam budaya hukum. Sikap menurut Friedman merupakan ‘budaya hukum situasi’. Konsep ini mengacu pada sikap dan nilai masyarakat umum. Konsep kedua adalah ‘budaya hukum internal’. Konsep ini mengacu pada sikap dan nilai profesional yang bekerja dalam sistem hukum, seperti pengacara, hakim, penegak hukum dan lain-lain. Friedman juga menyampaikan bahwa budaya hukum situasi tidaklah homogen. Bagian masyarkat yang berbeda memiliki nilai dan sikap berbeda terhadap hukum.
Di negara berkembang, konsep budaya hukum menempati posisi penting karena negara berkembang sering mendatangkan peraturan, hukum bahkan keseluruhan sistem hukum dari negara barat dalam usahanya untuk melakukan modernisasi kerangka kerja hukum mereka. Masalah muncul jika cangkok hukum mengabaikan budaya hukum setempat. Jika budaya hukum lokal tidak diakomodasi dalam hukum struktur dan substantif asing, konsep ini tidak akan dapat diterapkan dengan baik.
Dikaitkan dengan kasus yang terjadi di Indonesia, konsep ini telah disampaikankan oleh komentator luar negeri pada awal tahun 1972. Pada tahun 1982 mantan menteri hukum dan peradilan, Mochtar Kusumaatmaja juga menyampaikan hal yang sama. Namun setelah beberapa tahun, konsep ini telah dilupakan para reformis hukum dan baru sekarang diingat kembali oleh reformasi hukum di Indonesia. Tim Lindsey menulis:
Pandangan instrumentalis yang menyerap banyak literatur dan praktek belumlah cukup. Seperti yang terjadi di Indonesia, hukum bukan sekedar tugas yang dapat ditarik oleh pemerintah, multilateral dan legislatif untuk memulai atau menghentikan atau memperbaki kegiatan sosial dan ekonomi…. Hukum juga bukan sekedar keputusan hukum dan statuta. Sebagian besar pengacara sekarang mengetahui bahwa hukum dan norma yang berada di balik peraturan dan orang yang membuat dan menerjemahkannya. Hukum, dalam pengertian ini, tidak dapat dibedakan dari politik dan ekonomi.
Dengan demikian, analisis pada struktur hukum dan hukum substantif dan terjemahan terhadap budaya hukum dapat memperlebar jarak. Hasil survei terhadap reformasi hukum di Indonesia pada tahun 1950-an sampai dengan 1990-an oleh David Linnan merupakan informasi penting yang dapat didiskusikan. Linan menyatakan tiga artikulasi yang saling melengkapi yang dapat menjelaskan kegagalan reformasi hukum di Indonesia sejak tahun 1950-an, yaitu: a) pendekatan ilmu politik dan sosiologi yang menekankan peran elit penguasa, b) pendekatan budaya dan psikologi yang menekankan peran sikap feudal orang Jawa atau Indonesia, c) interpretasi disfungsi organisasi yang menekankan dampak problem mendasar dalam organisasi pemerintah Indonesia, terutama di bawah UUD 1945. Linnan menyatakan bahwa interpretasi disfungsi organisasi dapat memberikan penjelasan kegagalan reformasi hukum selama Orde Baru.
Dalam pandangan saya, meskipun interpretasi disfungsi organisasi terdiri atas beberapa nilai, tetapi belum memuaskan. Intinya adalah penjelasan institusional tidak dapat sepenuhnya menjelaskan keluaran reformasi hukum di Indonesia yang belum memuaskan pada tahun 1990-an. Hukum Perniagaan di Indonesia adalah contohnya. Hukum perniagaan di Indonesia dibuat terpisah dan berbeda pada tahun 1998 dengan mengikuti revisi undang-undang kebangkrutan. Hukum yang baru ini diharapkan dapat memberikan perbaikan dalam proses dan penyelesaian kasus, terutama catatan buruk terhadap sistem hukum Indonesia yang korup.
Meskipun terdengar sebatas konsep, pengadilan baru tidak dapat memenuhi harapan. Sebagaimana yang terlihat, kegagalan ini disebabkan karena keberhasilan reformasi hukum Indonesia bergantung bukan hanya lembaga pengambil suara, tetapi juga sikap mental yang tepat dan perilaku mereka yang bekerja, mengawasi dan menggunakan lembaga ini. Dengan demikian, reformasi pada lembaga hukum tanpa lembaga budaya tidak akan efektif.
Ketika melihat hukum di Indonesia, perhatian dititikberatkan pada masalah structural, seperti sistem dewan dua pintu dan ketetapan hukum perusahaan yang dikeluarkan pada tahun 1995 dan membandingkannya dengan produk hukum lainnya. Pendekatan ini sering mengabaikan bagaimana hukum perusahaan benar-benar bekerja dalam kehidupan. – permasalahan-permasalahan seperti mengapa pemegang saham menolak untuk mengajukan direktor dan komisaris ke pengadilan ketika mereka mempunyai hak untuk menuntut mereka, atau mengapa pegawai di Amsterdam bertindak dengan cara berbeda ketika mereka bekerja di Jakarta meskipun ketetapan hukum perusahaan sama. Menurut Friedman, pendekatan tersebut gagal membedakan sistem hukum yang tertulis dengan system hukum yang berlaku dalam masyarakat.
1. Pola Hukum Mattei
Jika konsep Friedman ‘budaya hukum’ mencoba menjelaskan unsur dalam setiap sistem hukum, Mattei dengan konsep ‘pola hukum’ mencoba menjelaskan, dengan membuat taksonomi sistem hukum komparatif, bagaimana sistem hukum berbeda satu dengan yang lain dan bagaimana perkembangan perbedaan tersebut. Mattei menyampaikan pandangannya ‘pola sistem hukum’ pada tahun 1997. Dia beranggapan bahwa taksonomi sistem hukum standar pada hukum sipil, umum, agama dan tradisi hukum masyarakat atau keluarga tertinggal zaman, utamanya di belahan Eropa-Amerika yang mengabaikan peta dunia hukum berdasar geografis dan tidak memasukkan budaya. Konsep taksonomi sistem hukum yang diajukan Mattei, yang disebut ‘pola sistem hukum’, mempunyai nilai karena taksonomi tersebut menghasilkan kerangka kerja yang dapat digunakan untuk menganalisa perubahan dan pembangunan dalam sistem hukum yang berbeda-beda.
Dengan menggunakan pendekatan Weber, Mattei mempostulatkan bahwa ada tiga sumber utama norma sosial dalam masyarakat yang mempengaruhi perilaku individu, yaitu politik, hukum dan filsafat dan tradisi agama. Sistem hukum selalu didefinisikan dalam skema tripartit sesuai dengan sumber perilaku sosial yang memainkan peran utama di atara mereka. Dengan ini, Mattei melihat sistem hukum dunia menganut pada salah satu dari tiga kategori sistem hukum tersebut, yaitu: peraturan hukum profesional, hukum politik, dan hukum tradisional.
Sistem hukum yang termasuk dalam kategori ketiga, aturan hukum tradisional, dapat dilihat dari pola hukum dimana agama ataupun filosofi transcendental yang melekat dalam dimensi internal individu dan dimensi kemasyarakatan tidak dapat dipisahkan satu sama lain.73 Dalam sebuah sistem, lembaga hukum bisa saja terbentuk; akan tetapi, bagaimana lembaga hukum tersebut bekerja tentunya akan berbeda jika dibandingkan dengan suatu sistem yang dijalankan dengan hukum profesional. Menurut Mattei, beberapa ciri dari suatu sistem hukum tradisional adalah: terbatasnya peranan pengacara dikarenakan besarnya peran sesepuh atau orang yang dianggap mengerti agama, mediator, dan mereka yang memiliki wewenang keagamaan; pandangan yang begitu menomorsatukan rasa penyesalan; pandangan yang begitu menjunjung tinggi keselarasan; serta keberadaan kode-kode bergaya Barat yang tidak memiliki landasan sosial yang penting, sehingga membatasi kinerja lembaga-lembaga hukum hanya pada bidang-bidang hukum tertentu saja atau masyarakat tertentu saja.74
Taksonomi Mattei dapat dibandingkan dengan pendekatan terhadap pembangunan hukum yang dikenalkan oleh Eugene Kamenka Alice Tay. Pendekatan tersebut diambil dari karya-karya Weber serta ahli sosiologi lainnya, Ferdinand Tonnies, serta pengembangan dari pandangan yang menyatakan bahwa sistem hukum modern dan pembangunan hukum biasanya terdiri dari:
Benturan yang agak sulit dimengerti antara tiga paradigma besar mengenai ideologi sosial, organisasi sosial, hukum dan administrasi… [disebut dengan] the Gemeinschaft atau keluarga komunal organik, the Gesellschaft atau perjanjian individu-komersial, serta paradigma birokrasi administratif 75
Aturan sosial model gemeinschaft berdasar pada norma-norma intrinsik dan nilai-nilai masyarakat yang dijunjung tinggi. Sedangkan aturan sosial model gesellschaft berasal dari ideologi liberal Barat; khususnya pemikiran tentang pemisahan antara negara dan individu. Bentuk birokrasi administratif suatu aturan sosial memaknai aturan sebagai suatu cara untuk mendapatkan intisari dari tujuan kebijakan yang ditetapkan oleh negara. Dengan demikian, gemeinschaft lebih terarah pada internalisasi norma sosial, gesellschaft lebih terarah pada hak asasi manusia, dan konsep birokrasi administratif lebih pada kebijakan negara.
Pandangan Kamenka-Tay mengenai pembangunan hukum sangatlah berguna dimana pandangan tersebut menjelaskan tiga tipe dasar organisasi sosial dan bagaimana setiap tipe tersebut dapat menentukan jenis sistem hukum yang terjadi dalam masyarakat. Terlebih lagi, pandangan-pandangan tersebut memiliki kesamaan dengan pola hukum menurut Mattei.76 Aturan Mattei terhadap hukum tradisional secara umum dapat disamakan dengan paradigma gemeinschaft: aturan mengenai hukum politis dengan paradigma birokrasi-administratif; dan aturan hukum profesional dengan paradigma gesellschaft.
Akan tetapi, meskipun terdapat kesamaan, masih terdapat hal-hal yang belum sempurna. Dalam hal ini, taksonomi Mattei secara terbuka mengakui adanya dampak politik terhadap sistem hukum serta menciptakan sebuah kategori baru mengenai hal ini. Senada dengan Weber, taksonomi Mattei membuat kekuatan politik dan aturan hukum politik menjadi kekuatan yang berseberangan dengan rasionalitas formal yang membentuk landasan bagi aturan hukum profesional. Sebaliknya, dalam pendekatan Kamenka-Tay tidak jelas apakah rasionalitas formal Weber merupakan suatu fungsi bagi gesellschaft dan paradigma birokrasi administratif, atau salah satunya, atau tidak keduanya. Perbedaan yang tidak jelas ini mengakibatkan tidak diperhitungkannya kekuatan politik dalam suatu sistem hukum. Berdasarkan alasan ini, Saya lihat pendekatan Mattei biasanya lebih disenangi daripada pendekatan Kamenka-Tay.
Sampai disini, penting untuk membahas dua implikasi penting yang diperoleh dari taksonomi Mattei. Pertama, taksonomi ini mencoba untuk menggabungkan dan merefleksikan peran budaya hukum dalam suatu sistem hukum yang berlaku.77 Dengan mengunakan pandangan fundamental Weber, dimana hukum adalah suatu alat organisasi sosial, Mattei mengembangkan sebuah taksonomi yang secara eksplisit menjelaskan bahwa norma-norma budaya suatu masyarakat memiliki muatan kritis terhadap sifat dari sistem hukum ini. Norma-norma budaya ini bermanifestasi dalam berbagai kekuatan sosial, politik, dan ekonomi yang kemudian akan menentukan tipe aturan hukum yang mendominasi suatu sistem hukum tertentu.
Kedua, dengan menambahkan bahwa klasifikasi dari suatu sistem hukum merupakan hasil dari perubahan kompetiti atas tiga kekuatan politik, hukum, dan tradisi, Mattei menawarkan sebuah perspektif yang dinamik terhadap studi tentang komparasi sistem hukum.78 Lebih dari itu, fakta bahwa ia menyebut kategori hukum politis sebagai “hukum tentang pengembangan dalam transisi” menjelaskan bahwa Mattei mengerti akan hal itu, sehingga dalam situasi tertentu, sistem hukum mampu dan mau untuk pindah dari model hukum tradisional, model hukum politis, menjadi model hukum profesional.79
Bagian C: Perubahan Model
Apakah yang bisa kita pelajari dari kontribusi Mattei dan Friedman? Menurut saya, gagasan Friedman tentang budaya hukum sangatlah berguna untuk menganalisis kenapa dan bagaimana sebuah sistem hukum bekerja pada waktu tertentu. Namun demikian, konsep dia sepertinya tidak banyak membantu ketika digunakan dalam analisis tentang bagaimana sebuah sistem hukum dipengaruhi oleh kekuatan eksternal dan perubahan yang terjadi dari waktu ke waktu.80 Taksonomi Mattei yang baru sangat berguna untuk tujuan pemahaman terhadap bagaimana sebuah sistem hukum bisa berubah dari pola hukum tradisional menjadi pola hukum politis dan akhirnya pola hukum profesional. Namun, ternyata terdapat mata rantai yang hilang antara pandangan Mattei terhadap perubahan dinamik dalam suatu sistem hukum dan gagasan Friedman tentang apa yang menjadikan sebuah sistem hukum.
Oleh karena itu, bahkan dengan kontribusi yang diberikan oleh Friedman dan Mattei, masih tetap sulit untuk menjawab pertanyaan berikut ini: Apakah hubungan kausal, jika ada, yang terjadi antara tiga elemen struktur, hukum substantive dan budaya hukum di satu sisi, serta kekuatan ekonomi eksternal, politik atau sosial di sisi lainnya? Ketika kekuatan eksternal ini bersinggungan dengan sistem hukum, apakah hal ini menimbulkan suatu perubahan dalam struktur, hukum substantive atau budaya hukum? Dapatkah sebuah perubahan dalam hukum substantive, misalnya import, juga mengubah budaya hukum, dan kerangka ekonomi serta politik?
Untuk menjawab pertanyan tersebut, saya berharap untuk dapat membahas konsep budaya dan kemudian mencoba menyaring konsep Friedman tentang budaya hukum dengan melakukan identifikasi terhadap apa yang Saya lihat. Sesudah itu, Saya menarik berbagai macam materi diskusi serta menampilkan suatu sistem hukum yang sederhana dan dapat dilakukan, sebagian besar merupakan karya Friedman dan Mattei, yang tentunya Saya percaya lebih akurat merefleksikan proses pengembanagan hukum baik sebagai sesuatu yang statis maupun dinamis
1. Budaya, Kesadaran & Kebiasaan
Tugas pertama saya adalah memperbaiki konsep budaya hukum Friedman. Ini tentu saja bukanlah sebuah tugas yang mudah mengingat ‘budaya’ adalah sebuah kata yang terkenal sangat kompleks. Sebuah buku antropologi karangan antropolog Amerika terkenal, Clifford Geertz, memberikan sebelas definisi budaya.81 Geertz sendiri mendefinisikan budaya sebagai:
sebuah pola yang diwariskan turun-temurun tentang makna yang terkandung dalam simbol-simbol, sebuah sistem konsepsi yang diwariskan dan tertuang dalam bentuk-bentuk simbolik yang merupakan cara bagi manusia untuk berkomunikasi, meneruskan, dan mengembangkan pengetahuan mereka dan sikap mereka dalam menghadapi hidup.82
Definisi budaya yang lebih sederhana dan yang Saya anjurkan untuk digunakan dalam diskusi Saya adalah definisi yang dikemukakan oleh rancis Fukuyama: budaya adalah ‘kebiasaan baik yang diwariskan turun temurun’. 82 Definisi Fukuyama yang kurang jelas ini sebenarnya menekankan pada dua aspek penting budaya. Pertama, budaya bersifat baik dalam pengertian bahwa budaya mengandung nilai-nilai yang membedakan antara yang baik dan yang benar, atau apa yang dapat diterima dan tidak dapat diterima dalam suatu masyarakat tertentu. Budaya mengatur segala tingkah laku dengan menyatakan nilai-nilai dan norma tertentu yang baik atau dapat diterima dan yang tidak baik atau tidak dapat diterima.
Aspek penting kedua yang harus diperhatikan dalam definisi Fukuyama adalah budaya tidak harus rasional. Sebaliknya, budaya diwariskan dan diteruskan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui suatu proses pengulangan. Fukuyama mengutip contoh seorang lelaki China yang menggunakan sumpit untuk makan mie. Orang itu melakukan hal tersebut karena suatu kebiasaan, bukan melalui proses penilaian efisiensi atau tingkat kenikmatan yang diperoleh dengan makan mie menggunakan pisau dan garpu ala Barat dibandingkan dengan memakai sumpit.84 Dalam hal ini, budaya bukanlah sesuatu yang rasional atau irasiomal tetapi sesuatu yang arational. 85
Berdasarkan pendapat bahwa budaya adalah kebiasaan baik yang diwariskan, Saya mencoba untuk mengidentifikasi dua elemen terpisah dari konsep Friedman tentang budaya hukum. Saya menyebut elemen yang pertama dengan ‘legal habit (kebiasaan hukum.’ Dalam hal ini, Saya merujuk pada tindakan, sikap, nilai-nilai dan pendapat berkaitan dengan lembaga hukum dan hukum yang diwariskan dan diteruskan oleh seorang individu atau masyarakat melalui proses pembiasaan. 86 Saya menyebut elemen kedua ini ‘legal consciousness (kesadaran hukum)’.87 Dalam hal ini Saya menekankan pada kemampuan yang mencerminkan dan menilai sikap serta nilai-nilai yang membentuk kebiasaan hukum (legal habit). Oleh karenanya kesadaran hukum sebuah komunitas mengacu pada kapasitas komunitas tersebut untuk mempertimbangkan apakah beberapa kebiasaan hukum—sikap tertentu, nilai, pendapat atau keykinan tentang hukum—dapat diterima atau tidak diterima dalam komunitas tersebut.88
Menurut definisi-definisi tersebut, kebiasaan hukum (opini aktual atau sikap) dan kesadaran hukum (segala hal mengevaluasi kebiasaan hukum) keduanya merupakan fungsi dari pikiran. Kunci dari perbedaan ini adalah kebiasaan (habit), dalam bentuk sikap, nilai-nilai, dan opini, menjelaskan isi dari pikiran kita pada suatu saat tertentu. Sebaliknya, kesadaran menjelaskan kapasitas dari pikiran yang sama untuk menilai sikap dan pendapat yang dipercayainya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kebiasaan hukum (legal habit) berhubungan dengan masalah sikap, dan kesadaran hukum (legal consciousness) berhubungan dengan kapasitas penilaian.89 Dengan kata lain, kebiasaan hukum lebih banyak menggambarkan sikap masyarakat terhadap hukum pada suatu masa, sementara kesadaran hukum menentukan bagaimana sikap tersebut selalu berubah sepanjang waktu.
Mungkin contoh berikut ini akan membantu memberikan gambaran perbedaan antara kebiasaan hukum (legal habit) dan kesadaran hukum (legal consciousness). Perhatikan sikap orang Asia terhadap proses pengadilan gaya Barat yang berlawanan. Banyak komentator yang melihat bahwa orang-orang Asia cenderung menolak proses pengadilan dan lebih menyukai metode penyelesaian masalah tanpa menggunakan jalur pengadilan, misalnya mediasi.90 Sikap seperti itu terjadi akibat sistem nilai yang lebih menghargai keselarasan sosial dan menjaga hubungan baik dibandingkan dengan penghargaan banyak masyarakat Barat terhadap nilai-nilai tersebut.
Jika penolakan terhadap proses pengadilan ini dianut oleh komunitas orang Asia tertentu, maka hal ini akan menjadi kebiasaan hukum (legal habit) dari masyarakat tersebut, lebih luas lagi, budaya hukum masyarakat tersebut. 91 Lebih jauh lagi, jika Fukuyama benar dalam melakukan penilaian bahwa budaya adalah warisan atas kebiasaan baik, hal ini berarti bahwa penolakan ini diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui suatu proses pembiasaan dan bukan suatu pilihan yang rasional. Dengan kata lain, dalam masyarakat Asia, anak-anak tumbuh berkembang dalam suatu kebiasaan hukum (legal habit) yang menolak suatu proses pengadilan tanpa harus memikirkan lebih dalam hal tersebut.
Namun demikian, ketika anak-anak ini tumbuh dewasa dan mengembangkan kemampuan berpikirnya sendiri serta mulai merefleksikan isu-isu hukum, kesadaran hukum individual dan kolektif mulai terbentuk. Mereka mulai mengevaluasi kebiasaan hukum mereka (legal habit). Seandainya, pada akhirnya, salah satu dari anak-anak ini ada yang menjadi eksekutif senior perusahaan yang harus memutuskan untuk mengajukan tuntutan terhadap partner bisnis yang curang. Dia mungkin akan memutuskan untuk tetap menggunakan proses hukum daripada melakukan penolakan seperti para pendahulunya.
Dengan kata lain, kesadaran hukumnya telah melakukan evaluasi terhadap kebiasaan hukumnya dan dengan demikian melemahkan keengganannya terhadap proses pengadilan. Jika pengalaman-pengalaman individu ini banyak terjadi dalam masyarakat, maka setelah beberapa waktu, budaya hukum seluruh masyarakat akan berubah, yang ditandai dengan berkurangnya penolakan terhadap proses pengadilan. Maka, budaya hukum berubah sepanjang waktu melalui interaksi antara kesadaran hukum dan kebiasaan hukum. Dengan kata lain, pada saat kebiasaan hukum mendominasi budaya hukum pada suatu masa tertentu, maka kesadaran hukum-lah yang akan mempengaruhi budaya hukum dalam periode yang lebih lama.
Maka, konsep kesadaran hukum memberikan suatu alat bagi kita untuk menganalisis perubahan-perubahan dalam budaya hukum dalam suatu konteks yang dinamis. Dengan identifikasi kebiasaan hukum dan kesadaran hukum sebagai dua elemen penting konsep Friedman mengenai budaya hukum, maka Saya melakukan perbaikan terhadap konsep Friedman. Dalam hal ini, konsep tersebut menjadi lebih tepat digunakan dalam membuat analisis yang dinamis dan prediktif.
Gagasan Friedman mengenai budaya hukum pada tingkat permukaan dan budaya hukum internal dapat juga dipahami sebagai tambhan terhadap konsep kesadaran hukum (legal consciuosness). Karena budaya hukum internal mengacu pada sikap dan pendapat dari profesional yang paham tentang hukum, maka dapat dimengerti bahwa budaya hukum internal lebih mudah dimengerti sehingga memiliki kesadaran hukum yang lebih baik. Ketika pengacara, hakim dan pembuat undang-undang cenderung lebih terbuka terhadap pembangunan di luar negeri, maka sangatlah masuk akal untuk menempatkan mereka di baris terdepan dalam pemikiran hukum serta hal-hal lain yang dapat membuat mereka memiliki kemampuan yang sama, reformasi hukum. Sebaliknya, masyarakat umum dengan budaya hukum tingkat permukaan yang lebih rendah tingkat kesadaran hukum-nya, cenderung terlambat, baik dalam hal pemikiran hukum maupun reformasi hukum.
Dengan kata lain, para profesional bidang hukum—dengan budaya hukum internal yang lebih tinggi tingkat kesadaran hukum-nya—diharapkan dapat menjadi pemimpin-pemimpin perubahan hukum dalam suatu masyarakat. Sebaliknya, masyarakat umum—dengan budaya hukum pada tingkat permukaan yang lebih rendah kesadaran hukum-nya—diharapkan dapat mengikutinya, meski kadang yang terjadi adalah penolakan terhadap suatu perubahan karena mereka memang enggan untuk berubah.
Konsep kembar saya tentang kebiasaan hukum (legal habit) dan kesadaran hukum (legal consciousness) dapat dibandingkan dengan usaha-usaha lainnya dalam mengidentifikasi elemen-elemen budaya hukum. Satu pendekatan alternatif adalah analisa budaya hukum melalui ‘budaya keluarga’ (misal budaya hukum orang-orang Barat, Asia, Islam, dan Africa).92 Berdasarkan pendekatan ini, apa yang membuat sebuah keluarga memiliki nilai budaya yang unik dibandingkan keluarga lain adalah faktor rasional-irasional dan faktor individualisme-kolektivisme. Dalam nilai budaya suatu keluarga, apa yang membuat sistem hukumnya berbeda dengan yang lain adalah ‘kebersaman pemahaman (shared understandings)’ yang terjadi dalam masyarakat tersebut. Kebersamaan pemahaman (shared understandings) ini meliputi konsep masyarakat tentang hukum, teori penalaran hukum, metodologi hukum, teori argumentasi, teori legitimasi hukum, serta pandangan mendasar tentang dunia.93
Namun demikian, secara keseluruhan ada dua hal dalam pengamatan Saya yang membuat penggunaan nilai budaya keluarga kurang begitu membantu dalam usaha ini. Pertama, cakupan nilai budaya keluarga terlihat terlalu luas. Misalnya, dalam masyarakat Asia, terdapat begitu banyak budaya hukum yang berbeda. Kadang-kadang, dalam satu negara Asia—seperti Indonesia—bisa saja terdapat sejumlah budaya hukum. Untuk mengumpulkan berbagai macam budaya hukum yang berbeda dalam satu payung ‘budaya hukum Asia’ jelas akan mematahkan tujuan analisis hukum lintas budaya.94 Kedua, usaha ini kurang begitu memuaskan karena terkesan sangat ke-Barat-barat-an dimana faktor-faktor yang memuat kebersamaan pemahaman (shared understandings) dalam suatu masyarakat mungkin menjadi tidak relevan bagi masyarakat lain. Misalnya, seseorang mungkin ragu apakah budaya hukum masyarakat Jawa memiliki teori argumentasi atau memiliki kebersamaan pemahaman (shared understandings) terhadap suatu permasalahan.95
Pendekatan lainnya terhadap analisa elemen-elemen pokok budaya hukum adalah dengan melihat budaya sebagai suatu lapisan eksplisit dan implisit. 96 Menurut pandangan ini, lapisan eksplisit terdiri dari kenyataan yang dapat diamati seperti mode pakaian atau bahasa dari suatu masyarakat. Lapisan implisit terdiri dari norma-norma, nilai-nilai, dan asumsi dasar berkaitan dengan pandangan mereka tentang dunia. Jadi, pemahaman terhadap lapisan implisit atau budaya sangatlah penting karena disini-lah terdapat ‘serangkaian aturan dan metode yang telah dikembangkan masyarakat untuk menghadapi masalah-masalah yang mereka temui dalam kehidupan sehari-hari.’ 97
Pendekatan terhadap budaya hukum dengan melihat budaya sebagai suatu lapisan ternyata sesuai dengan pendekatan saya yang menggunakan konsep gagasan kembar, kebiasaan hukum dan kesadaran hukum. Budaya eksplisit mengacu pada kebiasaan hukum sedangkan budaya implisit mengacu pada kesadaran hukum. Lebih penting lagi, kedua pendekatan tersebut menyatakan bahwa budaya implisit (atau kesadaran hukum), ketika dihadapkan dengan isu-isu moral atau dilema lain yang melibatkan pengambilan suatu keputusan, ternyata memiliki kemampuan untuk mengevaluasi budaya eksplisit (atau kebiasaan hukum) dan pada akhirnya membuat suatu perubahan yang penting.
2. Model Kerja
Apa yang terjadi jika model sistem hukum Friedman, dimodifikasi dengan memasukkan elemen-elemen kebiasaan hukum dan kesadaran hukum, kemudian disejajarkan dengan taksonomi Mattei serta pendekatan evolusioner terhadap hukum dan pembangunannya seperti yang telah dibahas pada awal bab ini? Menurut Saya, hal ini akan menciptakan sebuah model yang sederhana namun tepat guna tentang bagaimana suatu sistem hukum berubah dalam suatu cakupan yang lebih luas dalam bidang ekonomi, politik dan kerangka sosial yang melekat dalam sistem hukum tersebut. Lebih jelasnya, model seperti ini mencermati empat implikasi penting berkaitan dengan hubungan antara hukum dan pembangunannya.
Implikasi pertama adalah bahwa budaya hukum merupakan elemen sentral dari suatu reformasi hukum yang berhasil. Menurut Friedman, hal ini benar karena budaya hukum-lah yang melemahkan perubahan-perubahan dalam lembaga hukum dan hukum yang sebenarnya; dengan demikian, budaya hukum adalah ‘sumber hukum—norma-norma yang dimilikinya menciptakan norma hukum’.98 Usaha-usaha untuk mengubah tingkah laku dengan mengubah lembaga hukum atau hukum itu sendiri, jika tidak didukung perubahan dalam budaya hukum hanya akan bertahan sebentar dan tentu saja sia-sia. 98
Yang menarik perhatian, setelah melakukan survey tentang pembangunan ekonomi manusia, Landes berjalan dalam suatu jalur paralel ketika dengan tepat ia menyimpulkan:”Jika kita belajar dari sejarah pembangunan ekonomi, maka, budaya lah yang membuat semua berbeda.” 100
Implikasi kedua adalah bahwa budaya hukum dapat berubah setiap saat sebagai akibat dari semakin berkembangnya kesadaran hukum. Perubahan ini tertanam dalam kenyataan bahwa nilai-nilai atau sikap tertentu terhadap hukum menjadi tidak sesuai lagi bagi masyarakat. Hal ini terjadi ketika suatu masyarakat berkembang kesadarannya berkaitan dengan hak indvidu dan demokrasi dan meninggalkann gagasan lama seperti status dan sistem patriarchal. Hal ini dipelopori oleh kelas kecil elit hukum yang menerapkan budaya hukum internal. 102 Sebaliknya, ketika budaya hukum berubah, masyarakat akan lebih terbuka terhadap perubahan-perubahan dalam lembaga hukum dan hukum itu sendiri. Dalam situasi seperti ini, hukum asing dapat dengan mudah diadaptasi dan diimplementasikan.
Implikasi ketiga adalah perubahan-perubahan dalam kesadaran hukum yang dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal seperti peristiwa-peristiwa ekonomi, politik dan sosial. Friedman mengerti akan hal ini ketika ia menyatakan bahwa budaya hukum ‘adalah suatu variabel yang aling terkait. Kekuatan sosial membuat hukum, tetapi mereka tidak membuat nya langsung…’ 103 Maka, di satu sisi kesadaran hukum merubah budaya hukum, budaya hukum merubah sistem hukum, dan sistem hukum mempengaruhi sistem sosio-ekonomi dan politik dalam cakupan yang lebih luas. Dan di sisi lainnya, tekanan sosio-ekonomi dan politik sangat mempengaruhi kesadaran hukum.
Pandangan ini sesuai dengan pendekatan Weberian terhadap hukum dan masyarakat yang mencermati keterkaitan berbagai hubungan sosial. 104 Secara khusus, dampak tekanan terhadap kesadaran hukum dari para elit profesional hukum sangatlah penting karena para elit-lah yang biasanya menjadi pemimpin dalam membentuk budaya hukum masyarakat. Harus pula dicatat bahwa agenda politik dari mereka yang memegang kekuasaan—yang mungkin tidak sama dengan para elit hukum—akan menentukan pengaruh eksternal mana yang akan dijabarkan kedalam perubahan-perubahan nyata dalam kesadaran hukum.
Implikasi keempat adalah bahwa pendekatan Weberian menyatakan, selama ini pembangunan eksternal dalam bidang ekonomi, politik dan sosial dapat mempengaruhi kesadaran hukum suatu masyarakat terhadap penerimaan yang lebih besar akan sistem hukum yang lebih rasional. Hal ini memberi jalan bagi pandangan Weber atas masyarakat yang berpandangan rasional terhadap hukum yang selama ini didomonasi oleh birokrasi yang kuat.
Perubahan yang serupa juga dijelaskan oleh Kamenka-Tay sebagai suatu konfrontasi antara gemeinschaft, gessellschaft dan paradigma birokrasi administratif. Intinya adalah bahwa pendekatan Kamenka-Tay tidak menjelaskan bagaimana konfrontasi antara ketiga kekuatan itu akan dimainkan. Tetapi model saya menjelaskan hal ini. Model pendekatan milik saya menjelaskan bahwa faktor penentunya adalah kesadaran hukum dalam suatu masyarakat. Jika jumlah kesadaran hukum bersimpati terhadap intrinsik, memegang teguh norma tradisional, maka paradigma gemeinschaft akan mendominasi; jika berganti dan menjadi lebih bersimpati terhadap liberalisme klasik Barat atau pemikiran tentang birokrasi negara yang kuat, maka gessellschaft atau paradigma birokrasi administratif yang sebaliknya akan mendominasi.
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, saat ini sangat mungkin untuk menggambarkan hubungan antara struktur hukum, hukum itu sendiri dan budaya hukum—termasuk juga kebiasaan hukum dan kesadaran hukum—dalam suatu sistem hukum tertentu, begitu pula dengan dampak dari faktor-faktor eksternal seperti ekonomi, politik dan sosial terhadap sebuah sistem. Hal ini dapat dilihat pada Diagram 1 di bawah ini.
Diagram 1.
Jika elemen-elemen penting dari model ini benar, maka elemen itu mendukung pandangan Friedman bahwa budaya hukum adalah elemen sistem hukum yang paling penting. Model tersebut menjelaskan bahwa dalam budaya hukum, kebiasan hukum mendominasi sikap-sikap yang saat ini ada terhadap hukum. Namun demikian, kesadaran hukum-lah yang menentukan arah dan kecepatan pergerakan budaya hukum terhadap waktu.
Kesimpulan ini memiliki satu pelajaran kritis bagi mereka yang tertarik terhadap fenomena hukum dan pembangunannya. Jelasnya, formulasi hukum yang baru dan reformasi pada lembaga hukum akan tidak efektif tanpa adanya perbaikan yang sesuai dengan budaya hukum.
Dengan kata lain, selain sumber-sumber yang digunakan untuk membuat formulasi kebijakan, harus lebih banyak lagi sumber yang diarahkan bagi tujuan yang lebih luas bagi perbaikan budaya hukum masyarakat. Setiap proposal reformasi hukum untuk merubah hukum itu sendiri atau lembaga hukum haruslah menyertakan analisis dari aspek-aspek budaya hukum lokal yang akan mendukung perubahan tersebut. Jika hal ini tidak dilakukan dan budaya hukum masih terus diangap sebagai aspek hukum yang tidak penting, maka resiko kegagalan akan sangat tinggi. Seperti kata Mary Hiscock, mantan guru hukum saya yang memiliki pengalaman tentang reformasi hukum di Asia:
Hukum adalah tanaman yang tumbuh dengan akar manusia, dan sangatlah penting untuk memberikan pendidikan bagi orang-orang agar mereka berubah. Jika yang dicari adalah hukum yang siap dibuat, ini dapat saja dibeli dari berbagi konsultan yang ada. Namun yang ada hanyalah hukum. Masyarakat masih saja melakukan hal yang sama dengan apa yang dulu sering mereka lakukan. Tidak ada perubahan. Ini adalah pelajaran bagi sejarah bangsa Asia.

ILMU NEGARA

UNSUR-UNSUR NEGARA
• UNSUR NEGARA SECARA KLASIK
• UNSUR NEGARA SECARA YURIDIS
• UNSUR NEGARA SECARA SOSIOLOGIS
• UNSUR NEGARA MENURUT KONSEP HUKUM INTERNASIONAL
UNUSUR NEGARA SECARA KLASIK/TRADISIONAL
• WILAYAH TERTENTU
• RAKYAT
• PEMERINTAHAN YANG BERDAULAT
WILAYAH TERTENTU
• Batas wilayah dimana kekuasaan negara itu berlaku.
• Dkl, kekuasaan negara itu tidak berlaku di luar batas wilayahnya krn bisa menimbulkan sengketa internasional (kecuali di daerah ekstrateritorial, seperti kedutaan asing, kapal/pesawat perang berbendera asing)
Di mana kita melihat batas wilayah tertentu itu?
• Perjanjian batas-batas wilayah yg dibuat secara bilateral  melibatkan dua negara;
• Perjanjian batas-batas wilayah yg dibuat secara multilateral  melibatkan lebih dari dua negara.
• Penentuan dlm Konstitusi (UUD) hanya suatu peringatan saja bhw negara mempunyai wilayah yg berbatas.
Pandangan Georg Jellinek ttg Unsur Wilayah
• Segi Negatif  tidak ada ada organisasi lain yg berpengaruh di atas wilayah tertentu itu, kecuali:
1. Perjanjian tertentu (kondorminium)
2. Susunan negara serikat
3. Negara protektorat
4. Negara yg kalah perang (ocupation)
• Segi Positif  setiap orang yg berada di atas wilayah tertentu itu tunduk kpd penguasanya.
RAKYAT
• Rakyat  sekumpulan orang yg hidup disuatu tempat.
• Rumpun/ras  kumpulan orang yg mempunyai ciri-ciri jasmaniah yg sama (warna kulit, rambut, bentuk badan, bentuk muka, dll).
• Suku  kumpulan orang yg mempunyai kesamaan kebudayaan.
• Bangsa (natie) rakyat yg sudah berkesadaran  membentuk negara.
Empat Unsur Bangsa (natie)
DR. HERTS:
1. Ada hasrat kesatuan;
2. Ada hasrat untuk merdeka;
3. Ada hasrat keaslian budaya;
4. Ada hasrat memiliki/mempertahankan kehormatan.
Bangsa (natie) – J.J. Rousseau
• Citoyen  golongan bangsa yg berstatus aktif;
• Suyet  bangsa yg tunduk pada kekuasaan di atasnya atau bangsa yg berstatus pasif;
Bangsa (natie) – G. Jellinek
• Status Positif  hak warga negara utk menuntut tindakan positif pd negara ttg perlindungan dan kesejahteraan;
• Status Negatif negara tidak boleh campur tangan/merugikan hak-hak asasi warganya;
• Status Aktif  hak warga negara utk berpartisipasi dalam pemerintahan;
• Status Pasif kewajiban warga negara utk mematuhi hukum/perintah negara.
Asas-asas Kewarganegaraan
• Ius Sanguinus  seseorang menjadi warga negara berdasarkan keturunan.
• Ius Soli  seseorang menjadi warga negara berdasarkan tempat kelahiran.
• Campuran  apabila dua asas di atas sekaligus diberlakukan.
Dwi Kewarganegaraan (Bipatride)
• Terjadi apabila seseorang lahir di negara yg menganut asas tempat kelahiran (ius soli), namun orang tuanya berasal dari negara yg menganut asas keturunan (ius sanguinus).
• Misalnya  anak yg lahir di Inggris namun orang tuanya (ayahnya) berkewargaan Belanda.
Tanpa Kewarganegaraan (Apatride/stateless)
• Terjadi apabila seseorang lahir di negara yg menganut asas keturunan (ius sanguinus), namun orang tuanya berasal dari negara yg menganut asas tempat kelahiran (ius soli).
• Misalnya  anak yg dilahirkan di Belanda namun orang tuanya (ayahnya) berkewargaan Inggris (& tidak dilaporkan dlm waktu 12 bulan sejak kelahirannya di Ked.Inggris)
Bagaimana pengaturan kewarganegaraan di Indonesia?
• UU No. 62 Tahun 1958:
• Menganut asas “ius sanguinis” di mana kewarganegaan anak ditentukan oleh kewarganegaraan ayahnya.
• Dlm UU tsb, hanya anak yg lahir di luar nikah dan jika status kewarganegaraan ayahnya tidak diketahui, maka kewarganegaraan anak bisa mengikuti ibunya  diskriminasi gender?
UU 12/2006 ttg Kewarganegaraan
• Mengadopsi variasi “ius soli” dan “ius sanguinis” sehingga perumpuan WNI bisa memberi kewarganegaraan kepada anaknya yg lahir di Indonesia.
• Adanya kemudahan dalam proses naturalisasi dan keimigrasian.
• Untuk menghindari bipatride atau dwikewarganegaraan, maka setelah berusia 18 thn anak tsb menentukan sikap dalam tempo 3 tahun.
PEMERINTAH YG BERDAULAT
• Dalam arti luas  keseluruhan badan pengurus negara dgn segala organisasi, bagian-bagian, pejabat-pejabat yg menjalankan tugas negara dari pusat dan daerah;
• Dalam arti sempit badan pimpinan yg  mempunyai peran dlm menentukan dan melaksanakan tugas negara.
• Pemerintahan fungsi/tugas dp pemerintah  baik dlm arti sempit (eksekutif) maupun dlm arti luas (eksekutif, legislatif, dan yudikatif).
• Berdaulat ke dalam dibatasi oleh hukum positif, ke luar oleh hukum internasional.
UNSUR NEGARA SECARA YURIDIS
LOGEMANN:
• Wilayah hukum (gebiedsleer) yakni meliputi darat, laut, udara, serta orang dan batas wewenangnya;
• Subyek hukum (persoonsleer) yakni pemerintah yg berdaulat;
• Hubungan hukum (de leer van de rechtsbetrekking) yakni hubungan hukum antara penguasa dgn rakyat, termasuk hubungan hukum ke luar dgn dunia internasional.
UNSUR NEGARA SECARA SOSIOLOGIS
RUDOLF KJELLIN:
Faktor Sosial:
1. Masyarakat
2. Ekonomis
3. Kultur
Faktor Alam:
1. Wilayah
2. Bangsa
Barry Buzan (People, State and Fear; Sussex, 1983)
Tiga Komponen Utama Negara:
• Gagasan/Cita-cita/Tujuan Nasional;
• Basis Fisik (penduduk dan wilayah);
• Kelembagaan (eksekutif, legislatif, yudikatif), aparatur dan lembaga-lembaga yg turut berperan sbg penopang eksistensi negara.
UNSUR NEGARA MENURUT KONSEP HUKUM INTERNASIONAL
OPPENHEIM-LAUTERPACHT:
• Rakyat
• Daerah
• Pemerintah
• Kemerdekaan
• Pengakuan dari negara lain
• Kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan negara lain
Kemampuan menjalin hubungan dgn negara lain
• Mempertanggungjawabkan tindakan-tindakan pejabatnya (agents) terhadap negara lain.
• Kemampuan dan kesediaan untuk menaati hukum internasional.
• Keabsahan berdirinya negara itu dalam hukum internasional.
• Kemampuan untuk menentukan nasib sendiri negara yang bersangkutan.

KAIDAH GOOD GOVERNANCE

A. Definisi Good Governance
Sejak tumbangnya rezim Orde Baru dan digantikan dengan gerakan reformasi, istilah Good Governance begitu popular. Hampir di setiap event atau peristiwa penting yang menyangkut masalah pemerintahan, istilah ini tak pernah ketinggalan. Bahkan dalam pidato-pidato, pejabat negara sering mengutip kata-kata di atas. Pendeknya Good Governance telah menjadi wacana yang kian popular di tengah masyarakat.
Meskipun kata Good Governance sering disebut pada berbagai event dan peristiwa oleh berbagai kalangan, pengertian Good Governance bisa berlainan antara satu dengan yang lain. Ada sebagian kalangan mengartikan Good Governance sebagai kinerja suatu lembaga, misalnya kinerja pemerintahan suatu negara, perusahaan atau organisasial masyarakat yang memenuhi prasyarat-prasyarat tertentu. Sebagian kalangan lain ada yang mengartikan good governance sebagai penerjemahan konkret demokrasi dengan meniscayakan adanya civic culture sebagai penopang sustanaibilitas demokrasi itu sendiri.
Masih banyak lagi ‘tafsir’ Good Governance yang diberikan oleh berbagai pihak. Seperti yang didefinikan oleh World Bank sebagai berikut: Good Governance adalah suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi, dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and political framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha.
Namun untuk ringkasnya Good Governance pada umumnya diartikan sebagai pengelolaan pemerintahan yang baik. Kata ‘baik’ disini dimaksudkan sebagai mengikuti kaidah-kaidah tertentu sesuai dengan prinsip-prinsip dasar Good Governance.



B. Prinsip-prinsip Good Governance
Kunci utama memahami good governance adalah pemahaman atas prinsip-prinsip di dalamnya. Bertolak dari prinsip-prinsip ini akan didapatkan tolak ukur kinerja suatu pemerintahan. Baik-buruknya pemerintahan bisa dinilai bila ia telah bersinggungan dengan semua unsur prinsip-prinsip good governance. Menyadari pentingnya masalah ini, prinsip-prinsip good governance diurai satu persatu sebagaimana tertera di bawah ini:
1. Partisipasi Masyarakat
Semua warga masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembaga-lembaga perwakilan sah yang mewakili kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat, serta kapasitas untuk berpartisipasi secara konstruktif.
2. Tegaknya Supremasi Hukum
Kerangka hukum harus adil dan diberlakukan tanpa pandang bulu, termasuk di dalamnya hukum-hukum yang menyangkut hak asasi manusia.
3. Transparansi
Tranparansi dibangun atas dasar arus informasi yang bebas. Seluruh proses pemerintahan, lembaga-lembaga dan informasi perlu dapat diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dan informasi yang tersedia harus memadai agar dapat dimengerti dan dipantau.

4. Peduli pada Stakeholder
Lembaga-lembaga dan seluruh proses pemerintahan harus berusaha melayani semua pihak yang berkepentingan.
5. Berorientasi pada Konsensus
Tata pemerintahan yang baik menjembatani kepentingan-kepentingan yang berbeda demi terbangunnya suatu konsensus menyeluruh dalam hal apa yang terbaik bagi kelompok-kelompok masyarakat, dan bila mungkin, konsensus dalam hal kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur.
6. Kesetaraan
Semua warga masyarakat mempunyai kesempatan memperbaiki atau mempertahankan kesejahteraan mereka.
7. Efektifitas dan Efisiensi


C. Pilar-pilar Good Governance
Good Governance hanya bermakna bila keberadaannya ditopang oleh lembaga yang melibatkan kepentingan publik. Jenis lembaga tersebut adalah sebagai berikut :
1. Negara
• Menciptakan kondisi politik, ekonomi dan sosial yang stabil
• Membuat peraturan yang efektif dan berkeadilan
• Menyediakan public service yang efektif dan accountable
• Menegakkan HAM
• Melindungi lingkungan hidup
• Mengurus standar kesehatan dan standar keselamatan publik
2. Sektor Swasta
• Menjalankan industri
• Menciptakan lapangan kerja
• Menyediakan insentif bagi karyawan
• Meningkatkan standar hidup masyarakat
• Memelihara lingkungan hidup
• Menaati peraturan
• Transfer ilmu pengetahuan dan tehnologi kepada masyarakat
• Menyediakan kredit bagi pengembangan UKM

3. Masyarakat Madani
• Menjaga agar hak-hak masyarakat terlindungi
• Mempengaruhi kebijakan public
• Sebagai sarana cheks and balances pemerintah
• Mengawasi penyalahgunaan kewenangan sosial pemerintah
• Mengembangkan SDM
• Sarana berkomunikasi antar anggota masyarakat


D. Agenda Good Governance
Good Governance sebagai suatu gerakan adalah segala daya upaya untuk mewujudkan suatu pemerintahan yang baik. Oleh karena itu gerakan good governance harus memiliki agenda yang jelas tentang apa yang mesti dilakukan agar tujuan utamanya dapat dicapai. Untuk kasus Indonesia, agenda good governance harus disesuaikan dengan kondisi riil bangsa saat ini, yang meliputi:
1. Agenda Politik
Masalah politik seringkali menjadi penghambat bagi terwujudnya good governance. Hal ini dapat terjadi karena beberapa sebab, diantaranya adalah acuan konsep politik yang tidak/kurang demokratis yang berimplikasi pada berbagai persoalan di lapangan. Krisis politik yang melanda bangsa Indonesia dewasa ini tidak lepas dari penataan sistim politik yang kurang demokratis. Oleh karena itu perlu dilakukan pembaharuan politik yang menyangkut masalah-masalah penting seperti:
a. Amandemen UUD 1945 Sebagai sumber hukum dan acuan pokok penyelenggaraan pemerintahan, amandemen UUD 1945 harus dilakukan untuk mendukung terwujudnya good governance seperti pemilihan presiden langsung, memperjelas susunan dan kedudukan MPR dan DPR, kemandirian lembaga peradilan, kemandirian kejaksaan agung dan penambahan pasal-pasal tentang hak asasi manusia.
b. Perubahan Undang-Undang Politik dan Undang-Undang Keormasan yang lebih menjamin partisipasi dan mencerminkan keterwakilan rakyat.
c. Reformasi agraria dan perburuhan
d. Mempercepat penghapusan peran sosial politik TNI
e. Penegakan supremasi hukum

2. Agenda Ekonomi
Krisis ekonomi bisa melahirkan berbagai masalah sosial yang bila tidak teratasi akan mengganggu kinerja pemerintahan secara menyeluruh. Untuk kasus Indonesia, permasalahan krisis ekonomi ini telah berlarut-larut dan belum ada tanda-tanda akan segera berakhir. Kondisi demikian ini tidak boleh dibiarkan berlanjut dan harus segera ada percepatan pemulihan ekonomi. Mengingat begitu banyak permasalahan ekonomi di Indonesia, perlu dilakukan prioritas-priotitas kebijakan. Prioritas yang paling mendesak untuk pemulihan ekonomi saat ini antara lain:
a) Agenda Ekonomi Teknis
Otonomi Daerah. Pemerintah dan rakyat Indonesia telah membuat keputusan politik untuk menjalankan otonomi daerah yang esensinya untuk memberikan keadilan, kepastian dan kewenangan yang optimal dalam pengelolaan sumber daya daerah guna memungkinkan daerah dapat mengaktualisasikan segala potensi yang dimilikinya. Agar pelaksanaan otonomi daerah ini berjalan tanpa gejolak dibutuhkan serangkaian persiapan dalam bentuk strategi, kebijakan program dan persiapan institusi di tingkat pusat dan daerah.
Sektor Keuangan dan Perbankan. Permasalahan terbesar sektor keuangan saat ini adalah melakukan segala upaya untuk mengembalikan fungsi sektor perbankan sebagai intermediasi,serta upaya mempercepat kerja BPPN. Hal penting yang harus dilakukan antara lain pertama; tidak adanya dikhotomi antara bankir nasional dan bankir asing, lebih diperlukan kinerja yang tinggi, tidak peduli apakah hal itu dihasilkan oleh bankir nasional ataupun asing. Kedua, perlu lebih mendorong dilakukannya merger atau akuisisi, baik di bank BUMN maupun swasta. Ketiga, pencabutan blanket guarantee perlu dipercepat, namun dilakukan secara bertahap. Keempat, mendorong pasar modal dan mendorong independensi pengawasan (Bapepam). Kelima, perlunya penegasan komitmen pemerintah dalam hal kinerja BPPN khususnya dalam pelepasan aset dalam waktu cepat atau sebaliknya.
Kemiskinan dan Ekonomi Rakyat. Pemulihan ekonomi harus betul-betul dirasakan oleh rakyat kebanyakan. Hal ini praktis menjadi prasarat mutlak untuk membantu penguatan legitimasi pemerintah, yang pada giliranya merupakan bekal berharga bagi percepatan proses pembaharuan yang komprehensif menuju Indonesia baru.
b) Agenda Pengembalian Kepercayaan
Hal-hal yang diperlukan untuk mengembalikan atau menaikkan kepercayaan terhadap perekonomian Indonesia adalah kepastian hukum, jaminan keamanan bagi seluruh masyarakat, penegakkan hukum bagi kasus-kasus korupsi, konsistensi dan kejelasan kebijakan pemerintah, integritas dan profesionalisme birokrat, disiplin pemerintah dalam menjalankan program, stabilitas sosial dan politik, dan adanya kepemimpinan nasional yang kuat.
3. Agenda Sosial
Masyarakat yang berdaya, khususnya dalam proses penyelenggaraan pemerintahan merupakan perwujudan riil good governance. Masyarakat semacam ini akan solid dan berpartisipasi aktif dalam menentukan berbagai kebijakan pemerintahan. Selain itu masyarakat semacam ini juga akan menjalankan fungsi pengawasan yang efektif dalam pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan.
Sebaliknya, pada masyarakat yang masih belum berdaya di hadapan negara, dan masih banyak timbul masalah sosial di dalamnya seperti konflik dan anarkisme kelompok, akan sangat kecil kemungkinan good governance bisa ditegakkan. Salah satu agenda untuk mewujudkan good governance pada masyarakat semacam ini adalah memperbaiki masalah sosial yang sedang dihadapi.
Masalah sosial yang cukup krusial dihadapi bangsa Indonesia akhir-akhir ini adalah konflik yang disertai kekejaman sosial luar biasa yang menghancurkan kemanusiaan dan telah sampai pada titik yang membahayakan kelanjutan kehidupan dalam bentuk kekerasan komunal dan keterbuangan sosial dengan segala variannya. Kasus-kasus seperti pergolakan di Aceh dan Ambon adalah beberapa contoh dari masalah sosial yang harus segera mendapatkan solusi yang memadai.
Oleh karena itu masyarakat bersama pemerintah harus melakukan tindakan pencegahan terhadap daerah lain yang menyimpan potensi konflik. Bentuk pencegahan terhadap kekerasan komunal dapat dilakukan melalui; memberikan santunan terhadap mereka yang terkena korban konflik, mencegah berbagai pertikaian _vertikal maupun horizontal_ yang tidak sehat dan potensial mengorbankan kepentingan bangsa dan mencegah pula segala bentuk anarkhi sosial yang terjadi di masyarakat.
4. Agenda Hukum
Hukum merupakan faktor penting dalam penegakan good governance. Kekurangan atau kelemahan sistim hukum akan berpengaruh besar terhadap kinerja pemerintahan secara keseluruhan. Dapat dipastikan, good governanance tidak akan berjalan mulus di atas sistim hukum yang lemah. Oleh karena itu penguatan sistim hukum atau reformasi hukum merupakan kebutuhan mutlak bagi terwujudnya good governance.
Sementara itu posisi dan peran hukum di Indonesia tengah berada pada titik nadir, karena hukum saat ini lebih dianggap sebagai komiditi daripada lembaga penegak keadilan. Kenyataan demikian ini yang membuat ketidakpercayaan dan ketidaktaatan pada hukum oleh masyarakat.
Untuk memulihkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap hukum dalam rangka mewujudkan good governance diperlukan langkah-langkah kongkret dan sistimatis. Langkah-langkah tersebut adalah:
a. Reformasi Konstitusi Konstitusi merupakan sumber hukum bagi seluruh tata penyelenggaran negara. Untuk menata kembali sistim hukum yang benar perlu diawali dari penataan konstitusi yang oleh banyak kalangan masih banyak mengandung celah kelemahan.

b. Penegakan Hukum Syarat mutlak pemulihan pepercayaan rakyat terhadap hukum adalah penegakan hukum. Reformasi di bidang penegakkan hukum yang bersifat strategis dan mendesak untuk dilakukan adalah; pertama, reformasi Mahkamah Agung dengan memperbaiki sistim rekrutmen (pengangkatan), pemberhentian, pengawasan dan penindakan yang lebh menekankan aspek transparansi dan partisipasi masyarakat. Perbaikan sebagaimana tersebut di atas harus dilakukan oleh Komisi Yudisial Independen yang anggotanya terdiri dari mantan hakim agung, kalangan prakatisi hukum, akademisi/cendekiawan hukum dan tokoh masyarakat. Kedua, reformasi Kejaksaan. Untuk memulihkan kinerja kejaksaan saat ini khususnya dalam menangani kasus-kasus KKN dan pelanggaran HAM, perlu dilakukan fit and proper test terhadap Jaksa Agung dan pembantunya sampai eselon II untuk menjamin integritas pribadai yang bersangkutan. Selain itu untuk mengawasi kinerja kejaksaan perlu dibentuk sebuah komisi Independen Pengawas Kejaksaan.

c. Pemberantasan KKN KKN merupakan penyebab utama dari tidak berfungsinya hukum di Indonesia. Untuk memberantas KKN diperlukan setidaknya dua cara; pertama dengan cara mencegah (preventif) dan kedua, upaya penanggulangan (represif). Upaya pencegahan dilakukan dengan cara memberi jaminan hukum bagi perwujudan pemerintahan terbuka (open government) dengan memberikan jaminan kepada hak publik seperti hak mengamati perilaku pejabat, hak memperoleh akses informasi, hak berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan hak mengajukan keberatan bila ketiga hak di atas tidak dipenuhi secara memadai.

Sedangkan upaya penanggulangan (setelah korupsi muncul) dapat diatasi dengan mempercepat pembentukan Badan Independen Anti Korupsi yang berfungsi melakukan penyidikan dan penuntutan kasus-kasus korupsi, memperkenalkan hakim-hakim khusus yang diangkat khusus untuk kasus korupsi (hakim ad hock) dan memperlakukan asas pembuktian terbalik secara penuh.

d. Sumbangan Hukum dalam Mencegah dan Menanggulangi Disintegrasi Bangsa Pengakuan identitas terhadap nilai-nilai lokal, pemberian kewenangan dan representasi yang lebih luas kepada daerah, pemberdayaan kemampuan masyarakat dan akses pengelolaan terhadap sumber daya alam lokal menjadi isu penting yang sangat stategis di dalam menciptakan integritas sosial, karena selama lebih dari tiga dekade masyarakat selalu ditempatkan sebagai obyek, tidak diakui berbagai eksistensinya dan diperlakukan tidak adil. Akumulasi dari permasalahan tersebut akhirnya menciptakan potensi yang sangat signifikan bagi proses disintegrasi.

e. Pengakuan Terhadap Hukum Adat dan Hak Ekonomi Masyarakat Untuk menjamin hak-hak masyarakat hukum adat, maka diperlukan proses percepatan di dalam menentukan wilayah hak ulayat adat secara partisipatif. Dengan begitu rakyat akan mendapatkan jaminan di dalam menguasai tanah ulayat adat mereka dan juga akses untuk mengelola sumber daya alam di lingkungan dan milik mereka sendiri.

f. Pemberdayaan Eksekutif, Legislatif dan Peradilan Untuk lebih meningkatkan representasi kepentingan daerah di tingkat nasional, perlu dilakukan rekomposisi keanggotaan utusan daerah, di mana keterwakilan rakyat di daerah secara kongkret diakomodasi melalui pemilihan anggota utusan daerah secara langsung oleh rakyat. Sistim pemilihan langsung juga dilakukan untuk para pejabat publik di daerah khususnya gubernur, bupati/walikota.
Penerapan penegak hukum harus dilakukan secara kontekstual dengan menggunakan kebijakan ‘selektive enforcement’ sehingga keadilan memang berasal dari rasa keadilan yang hidup di masyarakat.

DEMOKRASI

Demokrasi diambil dari bahasa Yunani yaitu, demos yang berarti rakyat, dan kratos/kratein yang berarti kekuasaan/berkuasa. Jadi arti dari demokrasi adalah rakyat berkuasa atau government or rule by the people. Demokrasi muncul sebagai suatu program dan sistim politik yang konkret baru pada akhir abad ke-19. Tetapi sebetulnya ia sudah mulai berkembang di Eropa Barat dalam abad ke-15 dan ke-16. Walaupun telah muncul dan berkembang namun pada saat itu belum banyak negara yang menggunakan demokrasi. Keadaan tersebut sangatlah berbeda dengan sekarang dimana sekitar 119 negara menggunakannya. Bila melihat angka tersebut maka sekitar 62% negara di dunia telah menganggap demokrasi sebagai sistim politik yang paling ideal bagi negara mereka. Dalam demokrasi terdapat dua aliran yang dianggap paling penting. Pertama adalah demokrasi konstitusionil yang pemerintah terbatas kekuasaannya, sebuah Negara Hukum, dan yang bersifat rule of law. Kedua adalah “demokrasi” yang berdasar pada Marxisme-Leninisme yang pemerintah tidak boleh dibatasi kekuasaannya, serta bersifat totaliter. Aliran yang pertama merupakan pengertian demokrasi yang kita kenal secara umum sekarang ini.

Liberalisme sendiri mempunyai makna sebagai aliran paham ketatanegaraan dan ekonomi, yang di ketatanegaraan bercita – cita demokrasi dan di ekonomi menganjurkan kebebasan berusaha dan berniaga (pemerintah tidak boleh turut campur). Untuk aliran liberalisme klasik, negara mempunyai manfaat sebagai Penjaga Malam yang hanya dibenarkan campur tangan dalam kehidupan rakyatnya dalam batas-batas yang sangat sempit. Tetapi dalam aliran liberalisme modern, negara dianggap turut bertanggungjawab atas kesejahteraan rakyatnya dan karena itu harus turut untuk menyejahterakan rakyatnya. Pemikiran ini dimasukkan ke dalam konsep Negara Kesejahteraan.

Setelah itu marilah kita melihat pengertian dari demokrasi konstitusionil. Jelas terlihat bahwa sebetulnya tidak terdapat perbedaan dalam substansinya. Ini terjadi karena bagi negara Barat, demokrasi berarti “demokrasi liberal”. Mengapa harus pengertian dari negara Barat? Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka kita harus melihat latar belakang sejarah dari dunia. Pertama, tonggak-tonggak penting dari hak-hak asasi manusia kebanyakan berasal dari Barat. Seperti Magna Charta dan Bill of Rights. Kedua, haruslah dilihat kekuatan dari negara adidaya (setelah PD II), Amerika Serikat, dalam penyebaran demokrasi. Amerika pada awalnya merupakan tempat pembuktian teori-teori baru dari Eropa tentang bentuk negara, sistim politik, dan kebebasan. Jadi tidaklah mengherankan bila demokrasi bagi mereka sangat erat kaitannya dengan kebebasan/ hak- hak asasi manusia.

Memang harus diakui bahwa saat ini demokrasi merupakan sistim poltik yang paling berpengaruh. Tetapi perlu diingat bahwa demokrasi bukanlah tanpa cacat. Ironisnya kecacatan dari demokrasi merupakan inti dari sifat demokrasi itu sendiri , yaitu pluralitas suara. Inilah kritik yang disuarakan oleh Alexis de Tocqueville. Kejatuhan dapat lebih cepat terjadi dalam sebuah negara demokratis daripada di dalam negara komunis / totaliter. Satu hal yang merupakan kebanggaan dari demokrasi juga merupakan satu hal yang dapat menghancurkan mereka.


KAPITALISME

Kapitalisme mempunyai pengertian sebagai perbuatan individu-individu yang besar yang melibatkan kontrol terhadap sumber- sumber finansial uang luas dan menghasilkan kekayaan kepada seseorang sebagai suatu hasil dari spekulasi, peminjaman uang, dan perusahaan komersial. Kapitalisme juga dapat berarti sebagai suatu sistem perkonomian, yang terletak pada suatu organisasi dari para penerima upah bebas secara legal, dengan suatu tujuan untuk mendapatkan keuntungan uang, dari para pemilik modal dan agen-agennya. Sederhananya adalah bahwa kapitalisme merupakan usaha pencarian keuntungan, dan keuntungan yang dapat diperbaharui untuk selamanya, dengan usaha kapitalistis yang dilakukan secara terus menerus. Dalam suatu masyarakat yang kapitalistis, kesempatan untuk meraih keuntungan yang tidak diambil akan menghasilkan kehancuran.

Dalam etika Protestan, terdapat 3 etika yang sangat mempengaruhi perkembangan kapitalisme, yaitu hidup sederhana, bekerja keras, dan menabung/hemat. Selain tiga etika tersebut, jiwa wiraswasta juga sangat berpengaruh. Bila kita melihat hal-hal tersebut maka jelaslah bahwa kapitalisme hanya dapat muncul dalam sebuah masyarakat yang menjunjung tinggi kebebasan individu. Kemudian mengingat faktor agama (etika Protestan) sebagai tonggak dari berdirinya kapitalisme maka tidaklah mengherankan bila kapitalisme tidak hanya dipandang sebagai sebuah sistem ekonomi saja tetapi juga sebagai sebuah cara hidup.

Di dalam sistem kapitalis, kepemilikan barang produksi dipegang oleh individual bukan oleh negara. Pertimbangan dari ini adalah, pertama, kepemilikan dari barang produksi berarti mempunyai kekuasaan atas kehidupan orang lain maka dari itu kepemilikan seharusnya dibagi kepada beberapa pihak bukan hanya satu pihak saja. Kedua, kemajuan teknologi yang merupakan faktor penting dalam bisnis dapat lebih mudah diraih apabila tiap orang memikirkan bisnisnya sendiri dengan mengingat bahwa ia mempunyai niat untuk melakukan itu. Prinsip Laissez Faire (menentang campur tangan pemerintah dalam perekonomian kecuali diperlukan) sangat dijunjung tinggi dalam kapitalisme.

Kebebasan individu merupakan hal yang paling utama dalam demokrasi liberal. Oleh karena itu, Amerika Serikat sebagai negara penganut demokrasi liberal dan yang mempunyai strata sosial dimana WASP (White Anglo-Saxon Protestant) merupakan kelas sosial yang paling atas telah menjadi negara paling depan dalam perihal kapitalisme. Perang Dunia I & II sangatlah memacu dunia industri mereka. Permintaan dari negara-negara yang sedang berperang telah turut “memancing” dimulainya produksi masal. Saat keadaan ekonomi dalam negeri mereka tidak memungkinkan lagi, maka AS mulai melirik dunia internasional untuk pemasaran hasil industri mereka. Terlebih lagi setelah AS keluar dari politik luar negeri isolasionis.



SOSIALISME
Sosialisme adalah ideologi yang menjadi dasar dari komunisme. Seringkali mereka berdua dibahas secara bersamaan. Tetapi sebetulnya banyak hal dari dua ideologi ini yang berbeda bahkan pada hal yang fundamental. Sosialisme muncul sebagai sebuah bentuk kepedulian sosial dari beberapa cendekiawan seperti Robert Owen di Inggris, Saint Simon dan Fourier dari Perancis. Mereka tergerak ketika melihat kondisi buruh di Eropa pada permulaan abad ke – 19 yang sangat menyedihkan. Sayangnya, semua teori mereka tidak dibarengi dengan tindakan dan konsepsi yang nyata mengenai tujuan dan strategi perbaikan tersebut. Ini menyebabkan orang-orang menyebut mereka sebagai kaum Sosialis Utopis.
Setelah itu muncullah Karl Marx dari Jerman. Ia pun mengecam keadaan ekonomi dan sosial di sekelilingnya tetapi menurutnya perubahan seharusnya dilakukan secara radikal dan menyeluruh. Marx menyusun sebuah teori sosial yang menurutnya didasari hukum-hukum ilmiah sehingga pasti akan terlaksana. Ia menamakan ajarannya Sosialisme Ilmiah. Bersama dengan Friedrich Engels, ia menerbitkan bermacam-macam karangan, diantaranya yang paling terkenal adalah Manifesto Komunis dan Das Kapital. Dalam menjelaskan perkembangan masyarakat, Marx banyak dipengaruhi oleh gagasan Filsuf Jerman George Hegel mengenai dialektik (thesis, antithesis, dan synthesis). Selain itu dari Hegel diambil juga dua unsur, yaitu gagasan mengenai terjadinya pertentangan antara segi-segi yang berlawanan, dan kedua adalah gagasan bahwa semua berkembang terus. Ajaran Marx mengenai Materialisme menegaskan bahwa hukum dialektik tidak hanya terjadi pada dunia abstrak saja tetapi juga pada dunia materi.

Pertentangan kelas merupakan faktor penggerak sejarah dan akan berakhir apabila telah terbentuk masyarakat tanpa kelas, masyarakat komunis. Beberapa penentang aliran Marx menganggap ini adalah suatu hal yang aneh. Masyarakat dimana tidak ada eksploitasi, penindasan dan paksaan dicapai dengan cara revolusi (pemaksaan) dimana kaum buruh menggulingkan kekuasaan kaum pemilik modal.
Marx juga menyebutkan mengenai masa transisi yaitu masa diktatur proletariat. Setelah kaum buruh mengambil kekuasaan, untuk menuju masyarakat komunis atau tanpa kelas perlu diktator revolusioner dari kaum proletar. Bagi Marx, demokrasi politik dan demokrasi ekonomi telah tercipta dalam masyarakat komunis.

Eduard Bernstein pada umumnya menerima analisa Marx kecuali bagian revolusi. Menurutnya tujuan akhir dari Marx dapat dicapai secara damai melalui jalan parlementer dan atas dasar hak-hak pilih umum. Aliran Bernstein ini sangat mempengaruhi berdirinya sosialis demokrat atau sosialisme modern, dimana negara digunakan untuk mengatasi masalah social. Sosialisme modern berarti tujuan, sasaran , dan cara mencapai perubahan telah jelas. Sosialisme sama dengan liberalisme, mereka sama-sama menggunakan demokrasi karena mereka percaya pada kekuatan/dukungan rakyat. Salah satu cara sosialisme menarik masa adalah dengan menggunakan rasa nasionalisme. Kedengkian terhadap kesuksesan para pendatang menjadi unsur untuk menarik pendukung bagi sosialisme.


KOMUNISME
Gagasan Marx justru mendapat tanggapan paling besar dari negara yang industrinya baru setengah berkembang (tidak seperti keadaan di sekeliling Marx) yaitu Rusia. Lenin menjadi tokoh yang memperbaharui ajaran Marx hingga menjadi Marxisme – Leninisme atau komunisme. Modifikasi dilakukan oleh Lenin karena teori Marx ditujukan kepada masyarakat yang industrinya telah maju, sedangkan industri Rusia belum begitu maju pada saat itu. Beberapa perbedaan antara pandangan Lenin dengan Marx antara lain, pertama, Marx menganggap remeh petani tetapi Lenin tidak, kedua, menurut Marx partai haruslah besar dan dipimpin oleh orang-orang komunis yang pintar tetapi Lenin beranggapan bahwa partai cukup yang kecil saja tetapi terdiri dari orang-orang revolusioner profesional, dan ketiga, Marx beanggapan bahwa Kapitalisme akan menemui ajal pada puncak perkembangannya dan akan digantikan oleh masyarakat komunis sedangkan Lenin beranggapan bahwa imperialisme dapat memperpanjang nyawa kapitalisme. Selain itu Lenin juga memberi nama “sosialisme” kepada “tahap pertama masyarakat komunis”-nya Marx. Tampaknya dari sinilah timbul persepsi bahwa sosialisme indentik dengan komunisme.

Apabila Amerika Serikat identik dengan kapitalisme, maka Rusia identik dengan komunisme. Setelah Lenin ada Stalin yang gagasannya mengenai revolusi ialah bahwa komunisme dapat diselenggarakan di satu negara dulu, yaitu di Uni Soviet, dianggap menyimpang dari ajaran Marx. Di masa inilah muncul istilah Komunis Internasional (Komintern), dimana Moskow menjadi pusat komunisme. Kebijakan Moskow adalah kebijakan dunia komunis. dari sini timbul masalah yang sangat mendasar. Komunisme muncul sebagai hasil adaptasi lingkungan dari sosialisme. Namun melalui komintern. segala macam adaptasi terhadap ajaran komunis tidak dapat dilakukan di luar Moskow. Padahal kondisi di tiap negara komunis tidaklah sama dengan Moskow.

Kekuasaan Uni Soviet terhadap negara – negara komunis lainnya mulai berkurang / mengendur pada masa Khrushchev. Ada dua gagasannya yang bertolak belakang sekali dengan ajaran Marx dan kebijaksanaan Stalin. Pertama, perang dapat dihindarkan. Kedua, membuka kemungkinan untuk dapat hidup berdampingan dengan negara-negara yang berlainan sistim sosialnya. Khrushchev tidaklah sekeras Stalin sehingga negara-negara komunis lain, yang tadinya patuh dengan Uni Soviet, mulai menginginkan Polycentrisme. Dimana pusat komunisme tidak hanya di satu tempat saja tetapi di berbagai pusat, yaitu di negara masing-masing. Mao Tse Tung bangkit dari keadaan ini.

Begitu banyak tafsiran yang dilakukan terhadap ajaran Marx untuk membentuk sebuah masyarakat tanpa kelas. Komunisme tidak dapat kita pandang hanya sebagai sebuah teori atau ideologi saja. Tiap kasus penerapannya harus kita pandang satu per satu. Hanya dengan begitu kita dapat mengetahui komunisme.



DAFTAR PUSTAKA

Budiardjo, Miriam, Prof. Dasar – dasar Ilmu Politik. Cetakan ke-8.
Jakarta : PT. Gramedia, 1983.
Ebenstein, William. Today’s Isms. Fifth Edition.
New Jersey : Prentice Hall, Inc., 1967.
Fukuyama, Francis. The End of History and The Last Man. Cetakan ke-2, terj. M.H.
Amrullah, Yogyakarta : Qalam, 2003.
Tindall, George. B., and David E. Shi. America : A Narrative History. Brief Second
Edition. New York : W. W. Norton & Company, 1989.
Tocqueville, Alexis de. Democracy in America, translated, edited, and with an
introduction by. Harvey C. Mansfield and Delba Winthrop, Chicago :
The University of Chicago Press, 2000.
Weber, Max. Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme. Cetakan ke-3, terj. Yusup
Priyasudiarja, Surabaya : Pustaka Promothea, 2002.
Zakaria, Fareed. The Future of Freedom. Illiberal Democracy at Home and Abroad.
New York : W. W. Norton & Company, 2003.